Sementara itu, sebagian orang tua cenderung mengukur kecerdasan anak dengan mengajak si kecil untuk ikut tes Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual. Namun di sisi lain, perlu diketahui pula bahwa kecerdasan intelektual bukanlah penentu utama kesuksesan seseorang. Selain IQ, orang dikatakan sukses jika memiliki kecerdasan spiritual Spiritual Quotient (SQ) dan kecerdasan emosional Emotional Quotient (EQ) yang baik.
Penjelasan singkat mengenai ketiga kecerdasan tersebut sebagai berikut:
Spiritual Quotient (SQ) berhubungan dengan (who i am) siapakah saya, untuk apa saya diciptkan, kepada siapa saya harus menyembah. Jawaban dari pertanyaan tersebut haruslah kita ketahui. Aspek Spiritual berhubungan dengan kepercayaan yang ada dalam diri seseorang terutama dengan Tuhan, Allah sang maha Pencipta. Ketaqwaan kita, tanpa ragu melaksanakan semua kewajiban seperti halnya sholat, puasa, serta menjauhi hal-hal yang telah dilarang agama.
Intelligence Quotient (IQ) berhubungan dengan (what i think) apa yang saya pikirkan. IQ berperan dengan aspek berhitung, memahami gagasan, berimajinasi, memahami gagasan serta kemampuan kognitif.
Selanjutnya, Emotional Quotient (EQ) berhubungan dengan (what i fell) apa yang saya rasakan. Kecerdasan mengenai hal ini mencakup tentang kemampuan mengendalikan emosi, bisa memahami diri sendiri dan menakar rasa simpati kepada orang lain yang sedang kesusahan.
Keseimbangan di antara ketiga kecerdasan tersebut sangatlah diperlukan, karena dominasi satu kecerdasan saja mampu memberikan dampak sangat besar saat menjalani kehidupan sehari-hari. Laiknya sebuah artikel sebuah portal berita daring berjudul “Psikolog: IQ, EQ, dan SQ Pelajar Gantung Diri di Blitar Tak Seimbang”. Di dalam berita tersebut dijelaskan bahwa ada seorang pelajar kelas 9 SMP yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Padahal sang anak dikenal cerdas, ternyata setelah ditelaah pihak berwajib diketahui bila sang pelajar nekat mengakhiri hidupnya secara tragis karena takut tidak diterima di SMA favorit di Kota Blitar.
Cukup miris bukan? Di portal berita tersebut, ada psikolog yang berpendapat, kenekatan anak itu mengakhiri hidup secara tragis menunjukkan adanya ketidak seimbangan kecerdasan.
Berdasarkan berita itu dapat ditarik kesimpulan jika IQ pelajar cukup tinggi, terbukti dia berada di SMP favorit. Lalu apakah yang salah, ternyata dari EQ atau emosionalnya. Tuntutan keluarga menjadi beban yang sangat berat baginya. Apalagi, kakaknya juga berhasil secara akademis, orangtua sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Setiap harinya hanya pengasuh yang setia menemani. Disitulah kemampuan mengatasi masalah (problem solving) berkurang. Karena tidak ada tempat untuknya untuk berkeluh kesah.
Dari hal tersebut ternyata IQ tidak selamanya menjadi kunci keberhasilan atau kesuksesan seseorang. IQ tinggi pun harus didukung oleh kesepadanan EQ dan SQ. Berdasarkan penelitian EQ dan SQ 70% yang paling banyak berperan di kehidupan seseorang, sedangkan IQ hanya bekisar sekitar 30%.
Apabila ditarik garis luru, dalam hal spiritual siwa-siswai SMP Sains Tebuireng tidak perlu ditanya lagi. Shalat, puasa Senin-Kamis, Mengaji Kitab, dan lain-lain pasti sering dilakukan. Tapi bagaimanakah dengan EQ atau tingkat emosi mereka. Di sinilah peran sebagai guru harus tahu bagaimana cara memahami emosi mereka. Dimulai dari diri sendiri sebagai guru juga harus bisa mengendalikan emosi. Satu hal utama adalah memberikan perhatian sebagai penganti orangtua di rumah. Karena sudah menjadi rahasia umum jika anak pondok harus mandiri karena jauh dari orangtua. Disinilah peran guru harus lebih memahami mereka serta memulai dari diri sendiri.
“ Guru profesional bukan hanya bisa menyampaikan bahan ajar dengan baik. Tetapi guru profesional adalah mereka yang bisa tetap ceria tetap gembira di depan anak didiknya walaupun ada masalah di luar sana yang dihadapinya”Maka dari itu marilah kita optimalkan SQ, IQ, dan EQ pada diri peserta didik.
Oleh: Nola Mariyah Yuliani, S.Pd
*diolah dari berbagai sumber