![]() |
Inspirasi Story - Secara singkat saja. Mungkin, dari judulnya buku ini agak kurang enak dibaca. Ada sarkasme disini.
Tapi jika kalian ingin tahu, buku ini mendapatkan penghargaan sebagai "Best Nonfiction 2020" dari ACT Writers Centre di Canberra, Australia, atas kontribusinya dalam menggambarkan dinamika budaya dan keagamaan di Jawa.
Buku ini ditulis oleh George Quinn, dia adalah professor di Australian National University. Dia ingin memahami lebih dalam tentang bagaimana Islam dan budaya lokal berinteraksi dan membentuk praktik keagamaan yang khas di Jawa.
Praktik keagamaan yang mana?, lebih tepatnya tentang Ziarah Makam Wali. Dia ingin tahu bagaimana orang Jawa berdo'a dan melakukan tradisi keagamaan itu.
Ia membukanya dengan kisah ziarahnya ke Gunung Lawu, makam Sunan Kalijaga, Sunan Bonang. Ia lalu bergeser ke Kediri ke Jayabaya hubungannya dengan Syekh Washil Kediri. Dari Kediri ia pindah ke Makam Ki Ageng Balak, Solo. Kemudian ke Tegal dengan menziarahi Sunan Panggung yang lalu dilanjutkan kisahnya saat menziarahi Makam Mbah Priok di Ibukota Jakarta. Terakhir ke penjaga Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Ia mengunjungi lebih dari 50 makam keramat
Dia menemukan hal yang menarik dari orang orang yg berziarah misalnya yang pertama di Makam Sunan Bonang di Tuban. Banyak peziarah datang membawa air dari sumur. Mereka percaya air itu membawa keberuntungan dan kesehatan.
Kemudian di makam Ki Ageng Balak Ki Ageng Balak—dikenal kasar dan keras, tapi banyak orang datang ke makamnya untuk minta keselamatan usaha. "Wali berandal" adalah istilah yang dikenalkan untuk tokoh keramat sepertinya yang mungkin melanggar norma, tapi tetap dipercaya punya “berkah”.
Quinn mengatakan bahwa tradisi ini seperti “Gado-Gado dalam Islam” yang menunjukkan betapa kaya dan berwarnanya islam di Jawa.
Quinn menunjukkan bahwa praktik ziarah bukan sekadar bentuk ibadah, tapi sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan masa lalu, budaya, dan pencarian makna hidup.
Pesan yang Terkandung :
1. Keberagaman dalam Beragama: Masyarakat Jawa memiliki cara yang khas dalam menjalankan agama—mereka mencampurkan ajaran Islam dengan budaya lokal. Hal ini menunjukkan bahwa agama bisa dijalankan dengan cara yang damai dan menghargai tradisi.
2. Menghargai Warisan Budaya: Ziarah makam bukan sekadar ritual, tapi juga cara masyarakat menjaga sejarah dan identitas budayanya.
3. Jangan Menghakimi dari Luar Saja: Banyak tokoh yang dianggap kurang baik tapi ternyata sangat dihormati. Ini mengajarkan bahwa setiap orang punya sisi baik dan tidak bisa dinilai hanya dari penampilan atau masa lalunya.